Senin, 23 Maret 2015

Arti Sebuah Penyesalan



Ku telusuri berbagai jalan kehidupan, menyaksikan begitu banyak keangkuhan dan kesombongan tercermin dalam setiap kepribadian para insan. Hingga ku rasakan sebuah kegelisahan, dimana rasanya sifat itu juga melekat pada tubuhku. Ku termenung tak bisa menanggapi hal itu. Setiap hari waktu ku terbuang dengan sia-sia. Tertawa bahagia tanpa berfikir dosa apa yang telah terlaksana. Padahal Malaikat Maut selalu mengintai kehidupan Manusia, yang sewaktu-waktu bisa saja mencabut ruh dari jasadnya tanpa berfikir dia muda ataupun tua.

Hati ku kadang menjerit penuh derita. Karena begitu banyak keburukkan yang merasukinya. Tak terfikir didalam benak untuk membersihkannya. Karena kesenangan dunia telah menyatu didalamnya. Hingga suatu ketika nurani ku berkata, sanggupkah engkau merasakan neraka yang menyiksa. Sehari di dunia beribu tahun lamanya disana. Mampukah engkau membayangkannya dan masihkah engkau bisa tertawa dengan sombongnya.

Ku ratapi diri ku yang hina, hingga air mata keluar tanpa arti dan makna. Apakah itu benar-benar tanda keseriusan dari dalam jiwa atau hanya sekedar gurauan semata.

kembali ku telusuri jalan untuk kedua kalinya, dan ku bertemu dengan empat orang tua yang berbeda kondisinya. Yang pertama orang tua buta matanya. Ku beranikan diri untuk bertanya. Apakah dia bahagia dengan keadaannya atau malah sebaliknya. Ternyata dia menyusukuri segala apa yang diberikan untuknya. Karena dia yakin Tuhan tak mungkin menciptakan kekurangan tanpa menyelipkan kelebihan didalamnya. Dan dia merasa bahagia, karena dosa tak bisa menghinggapi matanya.

Dan ku bertanya lagi pada orang tua yang kedua. Dia tak bisa mendengar dan tak bisa berbicara. Ku bertanya dengan isyarat tanpa kata, mencoba menanyakan hal yang sama. Apakah dia bahagia dengan keadaannya atau malah sebaliknya. Ternyata dia bahagia dengan keadaannya, meski orang memperolok dirinya, dia hanya tersenyum untuk membalasnya. Karena kata-kata menyakitkan tak bisa membuat luka hatinya. Dan perkataan buruk tak bisa terlontarkan dari mulutnya.

Pada orang tua ketiga ku kembali bertanya. Apakah dia bahagia hidup tanpa kedua tangannya. Dia pun tersenyum kemudian berkata, aku bahagia dengan kekurangan yang ada, Karena ku yakin Tuhan kan membantu dengan kuasa-Nya. Memberikan kehangatan dan kasih sayang-Nya kepada insan yang mengharap rasa cinta-Nya.

Dan untuk terakhir kalinya ku bertanya pada orag tua yang terbaring tak berdaya. Ratapan matanya kosong dan hampa. Berbicara saja hampir tak bisa, tapi di balik senyumnya terlihat semangat yang membara, seolah semua itu bukan halangan untuk tetap bisa menjalani sisa hidupnya di dunia yang fana. aku begitu kagum akan dirinya. Semangat yang begitu besar mengalahkan berbagai kesedihan yang menyelimutinya. Dia berkata, aku tidak pernah merasa sedih dengan keadaan ataupun kekuranganku, justru aku malah mensyukuri pemberian-Nya. Aku bahkan takut seandainya Tuhan ku memberikan ku kesempurnaan, takut kalau aku tak bisa menjaga amanah-Nya dengan baik.

Ketika ku diberi kesehatan, akan kah kesehatan itu ku pergunakan dengan sebaik mungkin untuk beribadah kepada-Nya. Ketika ku diberikan kekayaan, akan kah kekayaan itu membuat ku semakin dekat dengan-Nya atau justru malah membuat ku terlena akan kesenangan yang membuat ku jauh dari kasih sayang-Nya. Ketika ku diberikan jabatan yang tinggi dimata manusia, akankah itu membuat ku bersyukur akan karunia-Nya atau justru membuat ku buta akan kemegahan yang di berikan oleh-
Nya.

Kini dapat ku simpulkan semuanya, bahwa segala kekurangan bukan menjadi sebuah alasan untuk lupa kepada-Nya. Kesenangan yang selalu ku rasakan membuat ku lupa akan diri-Nya. Kesenangan pada dunia membutakan mata hatiku tak selalu mengingat-Nya. Terlena akan kesenangan sesaat membawa pada siksa yang menjerat, meninggalkan kewajiban dan tak ingin meraih keabadian penuh kebahagiaan.

Kembali ku merenung, menyesali segala yang telah terjadi. Dosa-dosa lama kini menghampiri, menghantui fikiran dan membuat gelisah hati. Bagai pisau menyayat hati yang membuat air mata mengalir tak terhenti.

Segera ku bergegas pergi, mengambil air wudhu untuk mensucikan diri. Dan kini kuhadapkan diri pada Illahi Rabbi, menyesali segala kesalahan yang telah terjadi. Istighfar tak henti mengalir dari bibir ini, dan tak bisa di pungkiri air mata juga jatuh menemani. Begitu banyak kesalahan yang telah terjadi, bagaikan air yang mengalir tanpa arah yang pasti. Hati kini berkata, mengharapkan belas kasih yang Maha Kuasa. Berserah sujud dalam sajadah cinta, mengharap ampunan berlinangkan air mata.